So, yg menggelitik sepuluh jemari saya untuk memposting soal ini adalah.. point di mana seseorang jika merasa telah diperlakukan tidak adil oleh seorang/ sekelompok lainnya. Kalau mau patuh pada buku pelajaran Agama dan buku PMP/PPKn/Kewarganegaraan, atau apa pun lah istilah nama pelajarannya saat ini.. kita dilarang untuk membalas perbuatan jahat yang telah dilakukan pada kita. Kita diajarkan untuk berbesar hati dan menerimanya sebagai pelajaran hidup yg berharga.
Setuju? CMIIW.. tapi itulah yg saya tangkap selama saya belajar hingga di perguruan tinggi (At least, hingga detik ini saya merasa cukup terpelajar dan bermoral menempatkan diri di dalam kehidupan bermasyarakat).
Tapi ternyata.... 4500 derajat perbedaannya dengan kehidupan di lapangan-- yang telah saya rasakan selama terjun nyebur tenggelam langsung di lingkungan kerja. Mungkin bukan lingkungan kerja malah.. orang-orang yg mungkin tidak lebih beruntung dari saya, bahkan sudah merasakan getirnya pertahanan hidup di dunia ini sejak kecil. Mereka mau tidak mau, suka tidak suka, harus berani dan bertanggungjawab atas nasib dirinya masing-masing. Rebutan pekerjaan, rebutan cari makan, rebutan dapet pelanggan, rebutan kejar setoran, rebutan menguasai area lampu merah dan parkiran di jalanan, serta sebagainya.
Sungguh ga kebayang kalo saya di posisi mereka. Karena saya sangat yakin bahwa rebutan bukanlah keahlian saya. Melainkan mengalah.
--
Saya dilahirkan sebagai anak sulung di keluarga. Dari jaman punya adik pertama hingga kedua, selalu saja saya yang dicekoki kalimat "Ngalah aja sm yg lebih kecil.. ngalah belum tentu kalah.." oleh orangtua.
Ok, saya terima itu dengan hati yg sangat besar. (Tuh kan... pengaruh pelajaran PPKn td.. hihihi)
Buat adik sendiri, saya tidak masalah. Saya kakak yg sangat ngemong dan penyayang. Tapi ada hal-hal tertentu yg saya tidak segan menolak keras untuk mengalah. Saya rasa ini sangat wajar. Saya memang kakak, tapi saya manusia. Semua ada batasnya. Semua orang punya batas kewajaran untuk mematok tolak ukur sampai mana mereka harus bertoleransi untuk mengalah. Salah saja susah mengalah, apalagi jika di posisi yang benar.
--
So, kalo mau sotoy, nyambung2in lg dengan kasus Mr.Nzr & Mr.Ans sebelumnya sihh.. Mr.Nzr sudah di ujung tanduk. Alasan yg dilontarkannya pun adalah demi keluarga. Maka, ia mengambil langkah yang cukup berani, mempertaruhkan nyawanya, demi nama baiknya juga tuntutan atas ketidakadilan yang ia & keluarganya peroleh. Ia menolak untuk mengalah. Membiarkan masalah ini seolah-olah nggak pernah ada. Dan, keluar dari masalah benar/ salah, ia memilih untuk tidak mengalah, karena demi bangsa dan negara. Agar tidak menjadi korban ketidakadilan spt dirinya.
Sebagian diri saya masih merasa hal tsb semestinya tdk perlu dilakukan. Bisa saja harusnya dia tinggal diam. Menggerutu dalam hati. Dan membiarkannya berlalu di kemudian hari.. Karena dengan demikian, saya agak ragu, keluarganya bisa lebih tenang dan aman di luar sana. Tapi, di sisi lain, saya juga tidak bisa menghakimi Mr.Nzr. Dialah yg berdiri di posisi ujung tanduk. Dialah yg sudah mencapai batas klimaks mengalah atas ketidakadilan yg ia terima. Dia berhak untuk melawan balik. So, dialah yg paling berhak memutuskan dengan cara apa harus bertahan dan merebut kembali 'sesuatu yg mungkin ia anggap "IMPAS" untuk hidupnya'.
--
Saya... seorang kepo yang cuma berusaha menyambung-nyambungkan pemikiran2 ngalor-ngidul dengan sikon bersangkutan-- hanya bisa mematikan TV dan berdoa untuk kedamaian. Semoga yang terbaik untuk pihak yang baik. :)
Salam Rileks,
Ellen Su
*Seorang anak yang tidak akan pernah resign sebagai sulung
No comments:
Post a Comment